Minggu, 24 April 2011

Masalah Melayu Riau


 Focus masalah melayu riau khususnya daerah siak
 
Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura di Riau
 Dalam sejarahnya, kerajaanSiak di Riau terbentuk diawali karena terjadinya perpecahan di Kemaharajaan Melayu antara Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah(Raja Kecil) dengan Sultan Suleiman. Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah mengalami kekalahan dalam konflik tersebut, karena Sultan Suleiman dibantu oleh Bugis. Akibat dari kekalahan itu, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah kemudian menyingkir ke Johor, kemudian Bintan dan terus ke Bengkalis, hingga akhirnya sampai di pedalaman Sungai Siak, tepatnya di daerah Buantan. Letak Buantan lebihkurang 10 km di hilir kota Siak Sri Indrapura sekarang ini.Karena merasa aman dan tentram di Buantan, ia kemudian memutuskan untuk menetap, dan oleh rakyat setempat, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah kemudian diangkat sebagai Sultan Siak dengan gelar yang sama ketika ia masih menjadi raja di Kemaharajaan Melayu. Ada perbedaan pendapat mengenai tahun pendirian kerajaan Siak ini, sebagian mengatakan pada tahun 1723, tapi ada juga yang mengatakan 1725.Selanjutnya, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah melakukan konsolidasi ekonomi dan militer untuk kembali merebut Kemaharajaan Melayu. Namun, setelah berkali-kali melakukan serangan terhadap pengikut Raja Sulaiman, ia tetap mengalami kegagalan. Ia mangkat pada tahun 1744,dan digantikan oleh putranya, Sultan Mohamad Abdul Jalil Jalaludin Syah. Anaknya ini kemudian memindahkan ibukota ke Mempura.Sejak Sultan Siak pertama, Siak sudah membuka hubungan dagang dengan beberapa negeri luar,seperti Turki, Arab dan Mesir. Disamping itu, Siak juga menjaga hubungan baik dengan negeri tetangga, seperti Minang kabau. Sepanjang berdirinya, Kerajaan Siak tak pernah henti berjuang melawan penjajah Belanda. Di antara peperangan yang paling terkenal adalah Perang Guntung, dimana Kerajaan Siak berhasil menghancurkan kekuatan perang Belanda. Walaupun pada akhirnya Belanda berhasil menguasai Siak,tapi itu bukanlah hasil kekuatan senjata, tapi hasil dari pecah belah dan tipu muslihat.Selama berdirinya, Kerajaan Siak telah berkali-kali berpindah ibukota, yang pertama di Buantan,Mempura, Senapelan, kemudian pindah lagi ke Mempura, dan terakhir di Kota Tinggi, yang lebihdikenal dengan nama Siak Sri Indrapura.Kerajaan Siak berdiri selama lebih dari dua abad, dari tahun 1723 hingga tahun 1946. Akhir kerajaan ini seiring dengan ikrar sultan terakhirnya, Sultan Syarif Qasim II untuk bergabung dengan negara kesatuan Republik Indonesia, ketika Indonesia merdeka dari jajahan Belanda.Sejak itulah, kerajaan Siak menjadi bagian yang tak terpisahkan lagi dari Republik Indonesia.
Wilayah Kerajaan Siak meliputi kawasan Siak sekarang ini, Pekanbaru, Rokan, Kubu, TanahPutih, Bangka, Kulo, Kota Pinang, Pagarawan, Batu Bara, Bedagai, Kualuh, Panai, Bilah,Asahan, Serdang, Langkat, Temiang dan Deli. Sementara daerah Tapung yang terdiri dari dua persekutuan, yaitu Tapung Kiri dan Tapung Kanan, melakukan perjanjian damai dengan Kerajaan Siak. Siak juga pernah beberapa kali melakukan ekspansi wilayah hingga ke Kedah dan Pahang, namungagal merebut negeri-negeri itu. Siak juga pernah menyerang kerajaan Sambas di KalimantanBarat dan berhasil menguasai negeri itu untuk beberapa lama.


Urutan raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Siak 
1. Sultan Abdul Jalil Rakhmad Syah Almarhum Buantan (1723 - 1744)
2. Sultan Mohamad Abdul Jalil Jalaladdin Syah (1744-1760)
3. Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah (1760 - 1761)
4. Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah (1761-1766)
5. Sultan Mohamad Ali Abdul Jalil Mu?azam Syah (1766 - 1779)
6. Sultan Ismail Abdul Jalil Rakhmat Syah (1779 - 1781)
7. Sultan Yahya Abdul Jalil Muzafar Syah (1782 - 1784)
8. Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin (1784 - 1811)
9. Sultan Assyaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Kholiluddin (1811-1827)
10. Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Syaifuddin (1827 - 1864)
11. Sultan Assyaidis Syarif Kasim I Abdul Jalil Syaifuddin (1864 - 1889)
12. Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin (1889 - 1908)
13. Sultan Assyaidis Syarif Kasim II Abdul Jalil Syaifuddin (1908 – 1946 ).

 
Bagian dari Sejarah Indonesia Atau Malaysia
Pengakuan bahwa bahasa Melayu yang menjadi teras bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu Riau, secara implisit berarti juga pengakuan tentang adanya satu pusat kekuasaan yang  telah memberi ruang dan kesempatan bahasa dan sastra Melayu itu tumbuh dan berkembang sehingga menjadi aspek budaya yang tinggi nilainya. Itu berarti tak lain kesultanan Melayu Riau lah yangmenjadi pusat kekuasaan dan pendorong pertumbuhan budaya tersebut.Bagi masyarakat Melayu, di Riau terutama pengakuan itu tampaknya sangat penting dan melibatkan emosi. Sebab bagaimanapun selama ini, sekalipun bahasa Melayu diakui telahmemberikan sumbangan yang tidak ternilai harganya terhadap pengembangan kebudayaannasional, namun induk yang membesarkannya hampir tak mendapat tempat yang wajar.Contohnya tak begitu sulit untuk dicari, dan orang cukup melihat buku sejarah nasional Indonesia (Nugroho Notosusanto, Dkk, 1975) yang dianggap sebagai buku babon (standar) bagi penulis sejarah Indonesia. Disitu peranan dan kedudukan Kerajaan Melayu Riau nyaris tak pernah disentuh dan disebut-sebut, bahkan tenggelam dalam kebesaran kekuasaan lain,
 
seperti  Aceh  : Lolosnya kerajaan Melayu Riau dari catatan sejarah Nasional itu, kemudian tentu saja menurun ke buku-buku pelajaran sekolah-sekolah yang bersumber dari buku babon tersebut. Di SMPT,atau SMAT misalnya, buku pelajaran sejarah Nasional tak sempat menyebut-nyebut Kerajaan Melayu itu. Apalagi buku pelajaran IPS di sekolah dasar, kecuali yang dipakai di Riau. Mengapahal demikian bisa terjadi.Apakah sejarah kebudayaan Melayu Riau yang jatuh bangun selama 189 tahun (1722-1911) bukan merupakan bagian sejarah nasional Indonesia, tetapi menjadi bagian sejarah Johor (Malaysia)? Itulah antara lain pertanyaan-pertanyaan menarik yang sudah bergaung jauh sebelum Seminar Nasional Kebudayaan Melayu itu berlangsung.Sayang selama seminar empat hari itu, pernyataan-pernyataan tersebut hampir tak terjawab. Demikian pun bisa dimaklumi, terutama karena seminar itu bukanlah seminar tentang sejarah, tetapi tentang budaya yang merangkut berbagai hal secara umum. Sehingga, sekalipun dalam kelompok seminar ada kelompok aspek sejarah, tetapi permasalahan yang dibicarakan sangat beragam dan tidak merupakan suatu pembicaraan khusus tentang sejarah politik dan kekuasaan kerajaan-kerajaan yang pernah ada dan memainkan peranannya di kawasan ini. Apalagi cakupan Melayu dalam pengertian seminar tersebut, bukanlah semata-mata terpacu pada Riau, tetapi sedaya upaya ingin merangkum semua kawasan di Indonesia yang merupakan pendukung darikebudayaan ini.Pusat Bajak Laut Dari sebelas makalah tentang aspek sejarah yang diperbincangkan, hanya empat makalah yang cara langsung menyinggung tentang sejarah politik dan kekuasaan kerajaan Melayu disemenanjung, terutama berkaitan dengan Kerajaan Melayu Riau. Salah satu yang cukup mengelitik adalah makalah Dr Onghokham, (UI-Jakarta) yang berjudul “Pemikiran Tentang Sejarah Riau”, sebuah makalah yang tebalnya hanya sembilan halaman.Dr Onghokham, seperti kebanyakan sejarahwan dari luar Riau, memang masih belum bersediauntuk penegaskan mana yang dimaksud dengan kerajaan Riau itu. Akibatnya selain acuan ruangan dan waktu menjadi sering tidak jelas, juga pengistilahan yang persis tentang kesultanan.Riau itu pun sering berganti-ganti. Kadang-kadang dipakai istilah Kesultanan Riau, kadang-kadang kerajaan Bintan. Kekaburan itu, sama juga dengan penegasan ahli sejarah itu tentang jejak paling jelas dari kesultanan Riau yang dikatakan abad ke-15, berarti hampir bersamaan dengan masa keemasan kerajaan Melayu Malaka (1400-1528). Sedangkan, dalam berbagai penulisan sejarah, terutama oleh sejarahwan Riau dan Malaysia, pengertian Riau itu sendiri baruada sekitar tahun 1978, ketika Sultan Ibrahim (1677-1685) dari Johor, memindahkan sementara ibukota kerajaannya dari Batu Sawar (Johor) kehulu Riau. Pusat pemerintahan itu kembali keJohor tahun 1690 pada masa pemerintahan Sultan Mahmudsyah. Bagi kalangan sejarahwan di Riau sekarang ini, Kesultanan Riau baru terwujud tahun 1722, ketika orang-orang Bugis melantik Tengku Sulaiman sebagai Sultan. Bahkan masih ada pendapat lain yang justru mencatat bahwa Kesultanan Riau (yang lebih sering dipakai, Riau-Lingga) baru punya eksitensi politik dan kekuasaan pada saat lahirnya Trakat London (1824), saat wilayah eks Kesultanan Johor dibagi dua. Riau masuk bagian Sultan Riau Lingga dan dibawah pengawasan Belanda danSingapura dan Johor, menjadi bagian Semenanjung Melaysia di bawah kekuasan Inggris.Dr Onghokham juga melihat dalam sejarah perkembangannya Kesultanan Riau itu, atau lebih tepat Riau dahulunya itu, dalam percaturan Politik internasional tidak pernah merupakan pusat

 
kekuasaan terpenting atau terbesar. Wilayah itu hanya menjadi pemukiman orang laut dan tempat pelarian raja-raja yang syah, atau dinasti atau wangsa sah sekitarnya digulingkan. Peranan Kesultanan Riau pada tahun-tahun setelah 1511, yaitu sebagai tempat strategis untuk melakukangerilya laut, seperti untuk menyerang Protugis di Malaka. Sumber-sumber Protugis, menurut Dr Onghokham, menyebut gerilnya laut yang berpangkat di pulau Bintan itu sebagai bajak laut. Meskipununtuk pengertian ini, Onghokham perlu mengaris bawahi bahwa pada zaman itu, antara perang,politik, perdagangan dan pembajak laut tak banyak bedanya. Aksi Protugis menyerang Malaka1511 itupun tak lain sama dengan bajak laut. Demikian juga blokade Belanda terhadap Makasar atau Banten abad ke-17.Tetapi, bagaimanapun, Dr Onghokham membenarkan bahwa dalam soal budaya, Kepulauan Riau tidak kalah dengan sekitarnya. “Dinasti raja-raja Riau mungkin kalah dalam kekuasaan politik dan kalah dalam kekayaan dengan raja-raja sekitarnya. Namun dalam hal budaya merekatetap unggul”. Begitu kesimpulan Dr Onghokham. Tidak disebutkan faktor apa yang mendorong lahirnya budaya yang unggul itu.Tampaknya dalam masalah tersebut Dr Onghokham hanya mencoba mengambarkan selintas perkembangan sejarah, di satu kawasan bernama Riau, sebagai salah satu kawasan kerajaan maritim yang dalam pertumbuhannya tenggelam dalam bayang-bayang kebesaran Kesultanan Malaka.Saham Raja Kecil Sejarahwan lain yang berbicara dengan acuan yang lebih jelas tentang pengertian Kesultanan Riau itu, adalah Drs Suwardi Ms (UNRI Pekanbaru) dengan makalahnya “Kesultanan Melayu diRiau: Kesatuan dalam Keragaman). Pokok bahasan bukanlah tentang apa dan bagaimana Kesultanan Melayu di Riau itu, melainkan tentang kesatuan dan keragaman pemerintahan dan peranannya dalam menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai sosial budaya Melayu.Namun, dalam pembicaraan itu pengertian tentang wilayah kesatuaan kekuasaan itu lebih punya batasan dan ruangan serta waktunya. Suwardi Ms, sejarahwan Riau yang memang sudah cukup banyak mengeluti masalah sejarahyang terjadi dikawasan Riau sekarang ini, memulai pengertian kerajaan-kerajaan Melayu danberkembang di Riau dari tokoh kontaraversial, Raja Kecil, (Raja Kecik) yang dalam satuperebutan kekuasaan di Kesultanan Johor 1717, berhasil merampas kekuasaan dari tangan SultanAbdul Jalil Riayatsyah. Raja Kecil, yang dikatakan anak Sultan Johor Mahmudsyah yang matiterbunuh tahun 1699, dan dibesarkan di Minangkabau itu, setelah berhasil merampas tahtakerajaan, kemudian memindahkan kekuasaan itu ke Riau, 1719. Walaupun masa kekuasaan Rajakecil ini di Riau hanya berlangsung empat tahun, namun Suwardi Ms mengganggap Raja kecil sebagi tokoh yang punya andil (saham) besar dalam upaya mewujudkan kembali kesatuan Melayu di Selat Malaka yang dahulu terpecah belah oleh kekuasaan Protugis dan Belanda. Rajakecil yang terusir dari Riau itu, kemudian memilih pusat kekuasaannya yang baru, yaitu Siak,dankemudian secara bertahap membangun Kesultaanan baru yaitu Kesultanan Siak (1723-1945).Berdirinya kesultanan Siak, dengan sendirinya mengucapkan pengertian bahwa dikawasan Riau(dalam pengertian geo administrasi sekarang ini) ketika itu, ada dua pusat kekuasaan. Yaitu Riau yang berpusat di Ulu Riau dengan Sultannya Sulaiman Badrul Alamsyah, dan kedua kesultanan siak dengan penguasanyan Raja kecil. Sekalipun dalam berbagai penulisan, selalu harus ditunjukkan bahwa hulu kedua Kesultanan ini adalah satu, yaitu Kesultanan Johor.